RETENSIO PLASENTA
A.
Definisi
Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran
plasenta selama setengah jam setelah persalinan bayi, dapat terjadi retensio
plasenta berulang ( habitual retension ) oleh karena itu plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi
sebagai benda mati, dapat
terjadi plasenta
inkarserata,
dapat
terjadi polip plasenta
dan terjadi degerasi
ganas korio karsioma. Sewaktu suatu bagian plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan
keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Gejala dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi
tetapi
tinggi
fundus tidak berkurang (Prawiraharjo, 2005). Retensio plasenta ialah plasenta yang belum lahir dalam setengah jam
setelah janin lahir (Depkes, 2007).
B.
Klasifikasi
Berdasarkan tempat implantasinya retensio plasenta dapat di klasifikasikan
menjadi 5 bagian :
a.
Plasenta
Adhesiva
Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta dan melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
b.
Plasenta
Akreta
Implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki lapisan miometrium yang
menembus lebih dalam miometrium tetapi belum menembus serosa.
c.
Plasenta
Inkreta
Implantasi jonjot korion
plasenta hingga mencapai atau memasuki miometrium , dimana vili khorialis
tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium.
d.
Plasenta
Perkreta
Implantasi jonjot khorion
plsenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa di uterus,
yang menembus serosa atau peritoneum dinding rahim .
e.
Plasenta
Inkarserata
Tertahannya plasenta di dalam
kavum uteri, disebabkan oleh kontraksi ostium uteri (Sarwono, 2005).
C. Etiologi
Adapun faktor penyebab dari
retensio plasenta adalah :
1.
Plasenta belum
terlepas dari dinding rahim karena tumbuh dan melekat lebih dalam.
2.
Plasenta sudah
terlepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan meyebabkan perdarahan
yang banyak atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim yang akan
menghalangi plasenta keluar .
3.
Bila plasenta
belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian
plasenta sudah lepas akan terjadi perdarahan (Mochtar, 1998).
Apabila terjadi perdarahan post
partum dan plasenta belum lahir, perlu di usahakan untuk melahirkan plasenta
dengan segera . Jikalau plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan
akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir. Pada
perdarahan karena atonia uterus membesar dan lembek pada palpasi, sedang pada
perdarahan karena perlukaan jalan lahir uterus berkontraksi dengan baik
(Wiknjosastro, 2005).
Gejala
|
Akreta parsial
|
Inkarserata
|
Akreta
|
Konsistensi
uterus
|
Kenyal
|
Keras
|
Cukup
|
Tinggi
fundus
|
Sepusat
|
2 jari
bawah pusat
|
Sepusat
|
Bentuk
uterus
|
Discoid
|
Agak
globuler
|
Discoid
|
Perdarahan
|
Sedang –
banyak
|
Sedang
|
Sedikit /
tidak ada
|
Tali pusat
|
Terjulur
sebagian
|
Terjulur
|
Tidak
terjulur
|
Ostium
uteri
|
Terbuka
|
Konstriksi
|
Terbuka
|
Pelepasan
plasenta
|
Lepas
sebagian
|
Sudah
lepas
|
Melekat
seluruhnya
|
Syok
|
Sering
|
Jarang
|
Jarang
sekali, kecuali akibat inversion oleh tarikan kuat pada tali pusat.
|
E.
Patofisiologi
Segera setelah anak lahir, uterus
berhenti kontraksi namun secara perlahan tetapi progresif uterus mengecil, yang
disebut retraksi, pada masa retraksi itu lembek namun serabut-serabutnya secara
perlahan memendek kembali. Peristiwa
retraksi menyebabkan pembuluh-pembuluh darah yang berjalan dicelah-celah
serabut otot-otot polos rahim terjepit oleh serabut otot rahim itu sendiri.
Bila serabut ketuban belum terlepas, plasenta belum terlepas seluruhnya dan
bekuan darah dalam rongga rahim bisa menghalangi proses retraksi yang normal dan menyebabkan banyak
darah hilang.
F.
Pathway
G.
Komplikasi
Plasenta
harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya:
1.
Perdarahan
2.
Terjadi terlebih lagi bila
retensio plasenta yang terdapat sedikit perlepasan hingga kontraksi memompa
darah tetapi bagian yang melekat membuat luka tidak menutup.
3.
Infeksi
4.
Karena sebagai benda mati yang
tertinggal di dalam rahim meningkatkan pertumbuhan bakteri dibantu dengan port
d’entre dari tempat perlekatan plasenta.
5.
Dapat terjadi plasenta
inkarserata dimana plasenta melekat terus sedangkan kontraksi pada ostium baik
hingga yang terjadi.
6.
Terjadi polip plasenta sebagai
massa proliferative yang mengalami infeksi sekunder dan nekrosis
7.
Terjadi degenerasi (keganasan)
koriokarsinoma
Dengan masuknya mutagen, perlukaan yang semula fisiologik dapat berubah
menjadi patologik (displastik-diskariotik) dan akhirnya menjadi karsinoma
invasif. Sekali menjadi mikro invasive atau invasive, proses keganasan akan
berjalan terus.
Sel ini tampak abnormal tetapi tidak ganas. Para ilmuwan yakin bahwa
beberapa perubahan abnormal pada sel-sel ini merupakan langkah awal dari
serangkaian perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa tahun kemudian bisa
menyebabkan kanker. Karena itu beberapa perubahan abnormal merupakan keadaan
prekanker, yang bisa berubah menjadi kanker.
6.
Syok haemoragik
H.
Pemeriksaan
Penunjang
1.
Hitung darah lengkap: untuk
menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya
trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan
infeksi, leukosit biasanya meningkat.
2.
Menentukan adanya gangguan koagulasi
dengan hitung Protrombin Time
(PT) dan Activated Partial
Tromboplastin Time (APTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk
menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.
I.
Terapi
Terapi yang dilakukan pada pasien yang mengalami retensio plasenta adalah
sebagai berikut :
1.
Bila tidak terjadi perdarahan
Perbaiki keadaan umum penderita bila perlu misal: infus atau transfusi,
pemberian antibiotika, pemberian antipiretika, pemberian ATS. Kemudian dibantu
dengan mengosongkan kandung kemih. Lanjutkan memeriksa apakah telah terjadi
pemisahan plasenta dengan cara Klein, Kustner atau Strassman.
2.
Bila terjadi perdarahan
lepaskan
plasenta secara manual, jika plasenta dengan pengeluaran manual tidak lengkap
dapat disusul dengan upaya kuretase. Bila plasenta tidak dapat dilepaskan dari
rahim, misal plasenta increta/percreta, lakukan hysterectomia.
Cara untuk
melahirkan plasenta:
1. Dicoba
mengeluarkan plasenta dengan cara normal : Tangan kanan penolong meregangkan
tali pusat sedang tangan yang lain mendorong ringan.
2. Pengeluaran
plasenta secara manual (dengan narkose).
Melahirkan
plasenta dengan cara memasukkan tangan penolong kedalam cavum uteri, melepaskan
plasenta dari insertio dan mengeluarkanya.
3. Bila ostium
uteri sudah demikian sempitnya, sehingga dengan narkose yang dalam pun tangan
tak dapat masuk, maka dapat dilakukan hysterectomia untuk melahirkan
plasentanya.
F. Manual
Plasenta
Manual Plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan
untuk melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi manual plasenta tidaklah
sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan tersebut
dapat menyelamatkan jiwa penderita.
Kejadian retensio plasenta berkaitan
dengan :
1. Grandemultipara dengan implantasi
plasenta dalam bentuk plasenta adhesive dan plasenta akreta serta Plasenta
inkreta dan plasenta perkreta.
2. Mengganggu
kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
3. Retensio
plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan :
a. Darah
penderita terlalu banyak hilang.
b. Keseimbangan
baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi.
c. Kemungkinan
implantasi plasenta terlalu dalam.
Manual Plasenta dengan segera
dilakukan :
1. Terdapat
riwayat perdarahan postpartum berulang.
2. Terjadi
perdarahan postpartum melebihi 400 cc
3. Pada
pertolongan persalinan dengan narkoba.
4. Plasenta
belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual Plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi
perdarahan di atas 400 cc dan terjadi retensio plasenta (setelah menunggu ½
jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio plasenta dapat
dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan yang
adekuat.
G. Karakteristik
Ibu Bersalin dengan Retensio Plasenta
Adapun
karakteristik ibu bersalin dengan retensio plasenta adalah :
1. Umur
Harlock
(1999) dan Balai Pustaka (2002) mengatakan bahwa, umur adalah indeks yang
menempatkan individu dalam urutan atau lamanya seorang hidup dari lahir sampai
mengalami retensio plasenta. Faktor yang mempengaruhi tingginya kematian ibu
adalah umur, masih banyaknya terjadi perkawinan dan persalinan diluar kurun
waktu reproduksi yang sehat adalah umur 20-30 tahun. Pada Usia muda resiko
kematian maternal tiga kali lebih tinggi pada kelompok umur kurang dari 20
tahun dan kelompok umur lebih dari 35 tahun (Mochtar, 1998). Tingginya Angka
Kematian Ibu pada usia muda disebabkan belum matangnya organ reproduksi untuk
hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan
pertumbuhan janin. (Manuaba, 1998).
2. Paritas
Paritas
lebih dari 3 mempunyai angka kematian lebih tinggi, lebih tinggi paritas lebih
tinggi kematian maternal. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
retensio plasenta adalah sering dijumpai pada multipara dan grande multipara (
Sarwono, 2005). Multipara adalah seorang ibu yang pernah melahirkan bayi
beberapa kali ( samapi 5 kali), sedangkan grande multipara adalah seorang ibu
yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih, hidup atau mati ( Sarwono, 2005
).
3. Interval Kelahiran Anak
Usaha
pengaturan jarak kelahiran akan membawa dampak positif terhadap kesehatan ibu
dan janin.Interval kelahiran adalah selang waktu antara dua persalinan (Ramali,
1996). Perdarahan postpartum karena retensio plasenta sering terjadi pada ibu
dengan interval kelahiran pendek (<2 tahun ), seringnya ibu melahirkan dan
dekatnya jarak kelahiran mengakibatkan terjadinya perdarahan karena kontraksi
rahim yang lemah.
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
DENGAN RETENSIO PLASENTA
A.
Pengkajian
Beberapa hal yang perlu dikaji dalam
asuhan keperawatan pada ibu dengan retensio placenta adalah sebagai berikut :
a.
Identitas klien
Data biologis/fisiologis meliputi;
keluhan utama, riwayat kesehatan masa lalu, riwayat penyakit keluarga, riwayat
obstetrik (GPA, riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas), dan pola kegiatan
sehari-hari sebagai berikut :
1.
Sirkulasi :
a)
Perubahan tekanan darah dan nadi
(mungkin tidak tejadi sampai kehilangan darah bermakna)
b)
Pelambatan pengisian kapiler
c)
Pucat, kulit dingin/lembab
d)
Perdarahan vena gelap dari uterus
ada secara eksternal (placentaa tertahan)
e)
Dapat mengalami perdarahan vagina
berlebihan
f)
Haemoragi berat atau gejala syock
diluar proporsi jumlah kehilangan darah.
2.
Eliminasi :
Kesulitan berkemih dapat menunjukan
haematoma dari porsi atas vagina
3.
Nyeri/Ketidaknyamanan
:
Sensasi nyeri terbakar/robekan
(laserasi), nyeri tekan abdominal (fragmen placenta tertahan) dan nyeri uterus
lateral.
4.
Keamanan :
Laserasi
jalan lahir: darah memang terang sedikit menetap (mungkin tersembunyi) dengan
uterus keras, uterus berkontraksi baik; robekan terlihat pada labia
mayora/labia minora, dari muara vagina ke perineum; robekan luas dari
episiotomie, ekstensi episiotomi kedalam kubah vagina, atau robekan pada
serviks.
5.
Seksualitas :
a)
Uterus kuat; kontraksi baik atau
kontraksi parsial, dan agak menonjol (fragmen placenta yang tertahan)
b)
Kehamilan baru dapat mempengaruhi
overdistensi uterus (gestasi multipel, polihidramnion, makrosomia), abrupsio
placenta, placenta previa.
6.
Pemeriksaan fisik meliputi; keadaan
umum, tanda vital, pemeriksaan obstetrik (inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi) pemeriksaan laboratorium. (Hb 10
gr%).
B.
Diagnosa
Keperawatan
1. Kekurangan
Volume cairan
2. Nyeri
Akut
3. Resiko
Syock
4. Resiko
Infeksi
C.
Intervensi
No.
|
Diagnosa
|
NOC
|
NIC
|
Rasional
|
1.
|
Kekurangan Volume Cairan
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 menit diharapkan masalah klien
teratasi, dengan kriteria hasil:
v Fluid Balance
1. Tekanan
darah
2. Frekuensi
Nadi
3. keseimbangan
intake dan output selama operasi
4. Turgor
kulit
|
v Fluid Management
1.
Identifikasi kemungkinan penyebab
ketidakseimbangan elektrolit
2.
Monitor adanya kehilangan cairan
dan elektrolit
3.
Monitor status hidrasi ( membran
mukosa, tekanan ortostatik, keadekuatan denyut nadi )
4.
Monitor keakuratan intake dan
output cairan
5.
Monitor vital signs
6.
Monitor pemberian terapi IV
|
1.
Mengetahui penyebab untuk
menentukan intervensi penyelesaian
2.
Mengetahui keadaan umum pasien
3.
Mengetahui perkembangan rehidrasi
4.
Evaluasi intervensi
5.
Mengetahui keadaan umum pasien
6.
Rehidrasi optimal
|
2.
|
Nyeri akut
|
Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1x30 menit diharapkan masalah klien
teratasi, dengan kriteria hasil:
v Pain
control
1. Melaporkan
nyeri yang terkontrol
2. Menggunakan tindakan pengurangan (nyeri) tanpa
analgesik
3. Tingkat nyeri berkurang dari
|
v
Manajemen
nyeri
1.
Kaji secara komprehensip terhadap
nyeri termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri dan faktor presipitasi
2.
Observasi reaksi ketidaknyaman
secara nonverbal
3.
Gunakan strategi komunikasi
terapeutik untuk mengungkapkan pengalaman nyeri dan penerimaan klien terhadap
respon nyeri
4.
Tentukan pengaruh pengalaman nyeri
terhadap kualitas hidup( napsu makan, tidur, aktivitas,mood, hubungan sosial)
5.
Tentukan faktor yang dapat
memperburuk nyeri
6.
Lakukan evaluasi dengan klien dan
tim kesehatan lain tentang ukuran pengontrolan nyeri yang telah dilakukan
7.
Berikan informasi tentang nyeri
termasuk penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan hilang, antisipasi terhadap
ketidaknyamanan dari prosedur
8.
Control lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon ketidaknyamanan klien( suhu ruangan, cahaya dan suara)
9.
Hilangkan faktor presipitasi yang
dapat meningkatkan pengalaman nyeri klien( ketakutan, kurang pengetahuan)
10.
Ajarkan cara penggunaan terapi non
farmakologi (distraksi, guide imagery,relaksasi)
11.
Kolaborasi pemberian analgesic
|
1.
Untuk mengetahui tingkat nyeri
pasien
2.
Untuk mengetahui tingkat
ketidaknyamanan dirasakan oleh pasien
3.
Untuk mengalihkan perhatian pasien
dari rasa nyeri
4.
Untuk mengetahui apakah nyeri yang
dirasakan klien berpengaruh terhadap yang lainnya
5.
Untuk mengurangi factor yang dapat
memperburuk nyeri yang dirasakan klien
6.
untuk mengetahui apakah terjadi
pengurangan rasa nyeri atau nyeri yang dirasakan klien bertambah.
7.
Pemberian “health education” dapat
mengurangi tingkat kecemasan dan membantu klien dalam membentuk mekanisme
koping terhadap rasa nyer
8.
Untuk mengurangi tingkat
ketidaknyamanan yang dirasakan klien.
9.
Agar nyeri yang dirasakan klien
tidak bertambah.
10.
Agar klien mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi dalam memanagement nyeri yang dirasakan.
11.
Pemberian analgetik dapat
mengurangi rasa nyeri pasien
|
3.
|
Resiko Syok
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24
menit diharapkan syok tidak terjadi dengan kriteria hasil:
v
Keparahan kehilangan darah
1. Kehilangan darah yang terlihat
2. Perdarahan vagina
3. Kulit dan membran mukosa pucat
4. Tanda-tanda vital
|
v Syock management
1. Anjurkan pasien untuk banyak minum
2. Observasitanda-tandavital tiap 4 jam.
3. Observasi terhadap tanda-tanda dehidrasi.
4. Observasi intake cairan dan output.
5. Kolaborasi dalam pemberian cairan infus / transfusi
6. Pemberian koagulantia dan uterotonika.
|
1.
Peningkatan
intake cairan dapat meningkatkan volume intravascular sehingga dapat
meningkatkan volume intravascular yang dapat meningkatkan perfusi jaringan.
2.
Perubahan
tanda-tanda vital dapat merupakan indikator terjadinya dehidrasi secara dini
3.
Dehidrasi
merupakan terjadinya shock bila dehidrasi tidak ditangani secara baik.
4.
Intake
cairan yang adekuat dapat menyeimbangi pengeluaran cairan yang berlebihan.
5.
Cairan
intravena dapat meningkatkan volume intravaskular yang dapat meningkatkan
perfusi jaringan sehingga dapat mencegah terjadinya shock.
6.
Koagulan
membantu dalam proses pembekuan darah dan uterotonika merangsang kontraksi
uterus dan mengontrol perdarahan
|
4.
|
Resiko Infeksi
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam infeksi tidak terjadi dengan
kriteria hasil:
v Kontrol resiko
1. Memonitor faktor resiko individu
2. Menjalankan strategi kontrol resiko yang
sudah di tentukan
3.
Menggunakan sistem dukungan personal untuk mengurangi resiko
4.
Suhu tubuh
5.
Pembekakan sisi luka
|
v
Kontrol
Infeksi
1.
Cuci tangan setiap sebelum dan
sesudah melakukan tindakan keperawatan.
2.
Instruksikan pada pengunjung untuk
mencuci tangan sebelum dan sesudah berkunjung pada pasien.
3.
Tingkatkan intake nutirsi.
4.
Berikan antibiotic bila perlu.
5.
Observasi tanda dan gejala
infeksi.
6.
Monitor nilai leukosit.
7.
Berikan perawatan pada area luka.
8.
Ajarkan klien dan keluarga cara
menghindar infeksi
|
1.
Mencegah terjadi infeksi
nosokomial.
2.
Mencegah infeksi.
3.
Nutrisi yang baik dapat
meningkatkan imun
4.
Untuk mencegah terjadi infeksi.
5.
Mengidentifikasi dini infeksi dan
mencegah infeksi berlanjut.
6.
Nilai leukosit merupakan indicator
adanya infeeksi.
7.
Membantu penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi.
8.
Agar klien dan keluarga dapat
secara mandiri meenghindari infeksi tanpa bantuan perawat.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Arif, Mansjoer, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.
Bulechek G.M., Howard K.B., Joanne M.D. (Eds.).
2008. Nursing Intervention Classification (NIC), Fifth Edition. St. Louis
Missouri: Mosby Inc.
Carpenito, LJ. 2000.
Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktek Klinis, Edisi 6. Jakarta: EGC.
Depkes. 2007. Buku Acuan Pelayan Obstetri
Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta : Depkes RI.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds.). 2014.
NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions and Classification 2015-2017.
Oxford: Wiley Blackwell.
Moorhead Sue, Marion Johnson, Meridean L.M., et
al. (Eds.). 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC), Fifth Edition.
St. Louis Missouri: Mosby Inc.
Prawihardjo, Sarwono. 2002. Pelayanan Kesehatan
Maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.
Prawihardjo, Sarwono. 2005. Pelayanan Kesehatan
Maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo.
Wijayarini. 2005. Keperawatan Maternitas.
Jakarta : EGC